GERINBISNEWS.CO.ID – Ketika sebagian masyarakat hanya memandang polisi sebagai pengatur lalu lintas atau pelaku patroli malam, kita lupa bahwa mereka sesungguhnya adalah fondasi utama dari tegaknya hukum di negeri ini. Tanpa kehadiran polisi, hukum hanyalah teks di atas kertas tak mampu bergerak, tak bisa menyuarakan keadilan, apalagi menegakkan ketertiban.
Bayangkan sebuah hari tanpa keberadaan polisi. Tak ada yang mencegah kekerasan, tak ada yang mengurai konflik, dan tak ada yang melindungi hak-hak warga. Kekacauan bukan hanya kemungkinan, tetapi keniscayaan. Dalam kekosongan hukum, masyarakat berisiko kembali pada “hukum rimba” di mana yang kuat menang dan yang lemah lenyap. Negara hukum pun kehilangan ruhnya.
Kehadiran polisi bukan hanya kebutuhan praktis, tapi mandat konstitusional. Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 secara eksplisit menugaskan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menjaga keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 mempertegasnya, menjadikan Polri sebagai tulang punggung stabilitas nasional.
Polisi bukan sekadar aparat, tapi simbol keberadaban. Peran mereka multidimensi:
Penjamin Ketertiban Sosial: Polisi hadir dalam denyut nadi kehidupan masyarakat, dari kota hingga desa, memastikan ritme sosial tetap berjalan tanpa gesekan destruktif.
Penegak Keadilan Nyata: Dengan wewenang untuk menyelidiki dan menindak pelaku kejahatan, polisi menjadikan hukum hadir dalam bentuk tindakan, bukan sekadar wacana.
Pelindung Rasa Aman: Tak ada kehidupan sosial yang sehat tanpa rasa aman. Polisi menciptakan ruang bagi masyarakat untuk tumbuh, bekerja, dan belajar tanpa rasa takut.
Pendorong Pertumbuhan Ekonomi: Stabilitas keamanan adalah fondasi investasi. Tanpa jaminan hukum, tak akan ada pembangunan. Polisi profesional adalah modal tak ternilai bagi kemajuan bangsa.
Tak dapat dipungkiri, ada oknum yang menyalahgunakan seragam dan kekuasaan. Mereka menjadikan hukum sebagai alat dagang, bukan alat keadilan. Namun, kesalahan segelintir orang tak layak menggugurkan dedikasi ribuan anggota polisi yang setia pada sumpahnya. Kita harus bisa membedakan antara institusi dan pelanggar di dalamnya.
Mengkritik polisi bukanlah tindakan tabu justru diperlukan demi reformasi. Namun di saat yang sama, apresiasi juga penting. Kita butuh menyeimbangkan kritik dengan dukungan. Bukan sekadar mengutuk dari jauh, tapi turut berkontribusi menjaga ketertiban, mendorong akuntabilitas, dan menjadi mitra dalam membangun kepolisian yang bersih dan humanis.
Pesan terakhir: kepada para penegak hukum, jangan jadikan seragam sebagai pelindung dari tanggung jawab moral. Bekerjalah dengan kesadaran bahwa kekuasaan tanpa integritas hanya akan menyesatkan. Hukum butuh jiwa, dan jiwa itu lahir dari ketulusan pengabdian.
Dalam negara yang mengaku berlandaskan hukum, institusi kepolisian adalah organ vital. Tanpa mereka, keadilan kehilangan wajah. Maka, reformasi bukan berarti melemahkan polisi, tetapi memperkuat mereka melalui transparansi, akuntabilitas, dan dukungan publik. Negara tanpa polisi bukan hanya tak aman, tapi tak layak disebut beradab.
Oleh: Bayu Purnomo Saputra – Advokat & Mediator, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Syekh-Yusuf