GERINBISNEWS.CO.ID – Di sudut-sudut kota, di bawah payung robek dan di atas trotoar yang mulai rapi oleh proyek penataan, para pedagang kecil terus bertahan. Mereka bukan hanya berjualan, tapi memperjuangkan hak hidup. Dari sinilah suara lantang Perkumpulan Pedagang Pasar Minggu Bengkulu (P3MB) bergema, mengingatkan bahwa mereka bukan musuh kota—mereka adalah penopangnya.
“Kami tidak lahir dari kenyamanan. Kami lahir dari luka,” tulis P3MB dalam sebuah pernyataan terbuka yang viral di media sosial dan mulai mengundang perhatian berbagai pihak. Mereka menyuarakan keresahan yang telah lama terpendam: tentang kebijakan kota yang kerap mengabaikan suara rakyat kecil.
P3MB adalah wadah perjuangan pedagang kaki lima yang selama ini terpinggirkan. Mereka menolak dicap sebagai pengganggu ketertiban kota. Bagi mereka, setiap gerobak yang didorong setiap pagi adalah roda ekonomi rakyat. Meja reyot tempat mereka menjajakan dagangan bukan hanya tempat kerja, tapi juga sumber penghidupan yang menyekolahkan anak-anak mereka.
Dalam narasi yang mereka bangun, P3MB menggambarkan ironi pembangunan kota yang mengejar estetika dan ketertiban, namun kerap melupakan manusianya. Mereka menyebut proses perizinan yang berat sebelah: mudah untuk pemilik modal besar, sulit dan hampir mustahil untuk pedagang kecil.
“Kami tidak minta dikasihani. Kami hanya ingin diakui,” tegas mereka. Keberadaan mereka bukan sekadar aktivitas ekonomi informal. Itu adalah bentuk nyata dari upaya rakyat kecil mempertahankan hidup di tengah kerasnya kota.
P3MB juga menegaskan kesiapan mereka untuk mengikuti aturan, asalkan diberikan ruang yang adil dan manusiawi. Mereka bahkan mengorganisir diri untuk membuktikan bahwa pedagang kecil bisa tertib, bersih, dan ramah lingkungan. Namun, jika hak mereka terus diabaikan, mereka tak ragu untuk bersuara lebih keras.
P3MB lahir dari ketimpangan yang dibiarkan terlalu lama. Mereka bukan hendak melawan hukum, tetapi menuntut keadilan. “Gerobak kami bukan simbol kemiskinan. Itu lambang keberanian, lambang harga diri, dan bahwa kami tak pernah menyerah,” tulis mereka.
Suara ini bukan hanya seruan satu komunitas, tetapi cermin dari ribuan pedagang kecil di berbagai kota yang menghadapi nasib serupa. Mereka meminta pengakuan, bukan belas kasihan. Mereka ingin menjadi bagian sah dari kota yang mereka hidupkan setiap harinya.
“Jika bangsa ini ingin disebut adil, dengarkan jeritan kami. Jika dunia ini ingin disebut manusiawi, tatap mata kami,” tutup pernyataan itu.
Post Oleh: Perkumpulan Pedagang Pasar Minggu Bengkulu – (P3MB)