Pasar Tradisional, Wajah Ekonomi Rakyat yang Terpinggirkan oleh Betonisasi Modern

GERINBISNEWS.CO.ID Pasar tradisional bukan sekadar tempat jual beli. Ia adalah nadi ekonomi rakyat, panggung budaya, dan simbol kemandirian. Namun di tengah gempuran pembangunan modern yang menjulang tinggi, pasar-pasar rakyat kini kian tersisih. Bangunan megah menyerupai mall berdiri di berbagai daerah, tetapi sepi aktivitas. Ruang-ruang itu kosong, sunyi, dan tak berpihak pada denyut kebutuhan pedagang kecil maupun pembeli setia.

Ketika pembangunan hanya mengejar bentuk fisik tanpa menyelami ruh kehidupan rakyat, maka di situlah letak kegagalan sebuah kepemimpinan. Masyarakat tidak memerlukan bangunan pasar bertingkat tiga yang estetik namun tidak fungsional. Mereka menginginkan tempat berdagang yang mudah diakses, efisien, dan membumi—bukan yang mewah namun sepi.

Fakta di lapangan jelas: pembeli lebih suka berbelanja di tempat yang dekat, cepat, dan sederhana. Para pedagang pun enggan menempati lantai atas, bukan karena keras kepala, tapi karena logika pasar yang realistis. Berbelanja kebutuhan pokok bukan seperti jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Ini soal kebutuhan hidup sehari-hari yang mendesak.

Sudah saatnya kita berani keluar dari pola pikir lama. Bangunan pasar tidak harus tinggi dan gemerlap. Yang dibutuhkan adalah pasar yang hidup—hidup karena menyatu dengan masyarakat, menjadi pusat UMKM lokal, dan ruang tumbuh kedaulatan pangan.

Salah satu konsep solutif yang perlu dipertimbangkan adalah pasar tradisional ala TOL: jalur berdagang di sepanjang sisi kiri-kanan jalan utama. Konsep ini menawarkan efisiensi anggaran, kemudahan akses, serta penataan ruang yang lebih bersahabat dengan budaya lokal. Tak hanya itu, model ini juga tidak mengganggu lalu lintas bila ditata dengan baik. Ini adalah bentuk tata kota yang mengedepankan keadilan sosial ala Pancasila.

Dalam perspektif hukum dan ekonomi, asas keadilan menuntut pemerataan akses dan manfaat pembangunan. Seperti tertulis dalam adagium hukum salus populi suprema lex esto—kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi—maka pembangunan yang abai terhadap kebutuhan rakyat hanya akan menjadi simbol kosong yang mahal biayanya.

Konsep pasar ala TOL bukan hanya sekadar ide teknis. Ia adalah revolusi kebijakan. Ia mengembalikan pasar kepada jati dirinya: tempat yang riuh, padat, hidup, namun tetap tertib dan manusiawi. Sebab membangun pasar bukan hanya soal fisik bangunan, tapi soal hadirnya negara dalam kehidupan ekonomi rakyat.

Jika pembangunan pasar terus mengabaikan prinsip keadilan, maka sejatinya negara telah mengingkari sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini saatnya kita menata kembali pasar tradisional bukan sekadar sebagai tempat jual beli, tapi sebagai ruang kehidupan, kearifan lokal, dan masa depan ekonomi bangsa.

Oleh: Bayu Purnomo Saputra (Advokat & Mediator BPS And Partners)

 

 

 

 

Related posts
Tutup
Tutup